Cerita Maghafir
Kemudian isteri-isteri Nabi saling mengadakan sepakat. Biasanya lepas salat asar Nabi mengunjungi isteri-isterinya. Ketika itu ia sedang berkunjung kepada Hafsha menurut satu sumber - atau kepada Zainab bt. Jahsy menurut sumber yang lain - dan lama tidak keluar, lebih dari biasanya. Hal ini telah menimbulkan rasa iri hati pada isteri-isterinya yang lain. Aisyah mengatakan: 'Lalu aku dan Hafsha bersepakat, bahwa bilamana Nabi s.a.w. datang kepada salah seorang dari kami hendaklah berkata bahwa aku mencium bau maghafir.4 Apa kau makan maghafir?" [Maghafir ialah sesuatu yang manis rasanya, berbau tidak sedap. Sedang Nabi tidak menyukai segala yang berbau tidak enak]. Ketika ia mendatangi salah seorang dari mereka ini, hal itu oleh yang seorang ditanyakan kepadanya.

"Saya hanya minum madu di rumah Zainab bt. Jahsy, dan tidak akan saya ulang lagi," katanya.

Menurut laporan Sauda, yang juga sudah mengadakan persepakatan yang serupa dengan Aisyah, menceritakan, bahwa setelah Nabi berada di dekatnya, ditanyanya: "Kau makan maghafir?"
"Tidak," jawabnya.
"Ini bau apa?"
"Hafsha menyugui aku minuman dari madu."
"Yang lebahnya mengisap 'urfut?"

Dan bila ia mendatangi Aisyah dikatakannya seperti yang dikatakan oleh Sauda. Juga Shafia ketika dijumpainya mengatakan seperti apa yang dikatakan mereka juga. Sejak itu ia lalu mengharamkan madu untuk dirinya.

Setelah melihat kenyataan ini Sauda berkata: "Maha suci Tuhan! Madu telah jadi haram buat kita!"

Ditatapnya ia oleh Aisyah dengan pandangan mata penuh arti seraya katanya: Diam!

Nabi yang telah memberi kedudukan kepada isteri-isterinya, sedang sebelum itu, seperti wanita-wanita Arab lainnya, mereka tidak pernah mendapat penghargaan orang, sudah wajar sekali apabila sikap mereka kini mau berlebih-lebihan dalam menggunakan kebebasan, suatu hal yang tidak pernah dialami oleh sesama kaum wanita, sampai-sampai ada di antara mereka itu yang menentang Nabi dan membuat Nabi gusar sepanjang hari. Ia sudah berusaha hendak menghindarkan diri dari mereka, meninggalkan mereka, supaya sikap kasih-sayang kepada mereka itu tidak sampai membuat tingkah laku mereka tambah melampaui batas, dan sampai ada dari mereka yang mengeluarkan rasa cemburunya dengan cara yang tidak layak. Setelah Maria melahirkan Ibrahim, rasa iri hati pada isteri-isteri Nabi itu sudah melampaui sopan santun, sehingga ketika terjadi percakapan antara dia dengan Aisyah, Aisyah menolak menyatakan adanya persamaan rupa Ibrahim dengan Nabi itu, dan hampir-hampir pula menuduh Maria yang bukan-bukan, yang oleh Nabi dikenal bersih.

Pernah terjadi ketika pada suatu hari Hafsha pergi mengunjungi ayahnya dan bercakap-cakap di sana, Maria datang kepada Nabi tatkala ia sedang di rumah Hafsha dan agak lama. Bila kemudian Hafsha kembali pulang dan mengetahui ada Maria di rumahnya, ia menunggu keluarnya Maria dengan rasa cemburu yang sudah meluap. Makin lama ia menunggu, cemburunya pun makin menjadi. Bilamana kemudian Maria keluar, Hafsha masuk menjumpai Nabi.

"Saya sudah melihat siapa yang dengan kau tadi," kata Hafsha. "Engkau sungguh telah menghinaku. Engkau tidak akan berbuat begitu kalau tidak kedudukanku yang rendah dalam pandanganmu."

Muhammad segera menyadari bahwa rasa cemburulah yang telah mendorong Hafsha menyatakan apa yang telah disaksikannya itu serta membicarakannya kembali dengan Aisyah atau isteri-isterinya yang lain. Dengan maksud hendak menyenangkan perasaan Hafsha, ia bermaksud hendak bersumpah mengharamkan Maria buat dirinya kalau Hafsha tidak akan menceritakan apa yang telah disaksikannya itu. Hafsha berjanji akan melaksanakan. Tetapi rasa cemburu sudah begitu berkecamuk dalam hati, sehingga dia tidak lagi sanggup menyimpan apa yang ada dalam hatinya, dan ia pun menceritakan lagi hal itu kepada Aisyah. Aisyah memberi kesan kepada Nabi bahwa Hafsha tidak lagi dapat menyimpan rahasia. Barangkali masalahnya tidak hanya terhenti pada Hafsha dan pada Aisyah saja dari kalangan isteri Nabi. Barangkali mereka semua - yang sudah melihat bagaimana Nabi mengangkat kedudukan Maria - telah pula mengikuti Hafsha dan Aisyah ketika kedua mereka ini berterang-terang kepada Nabi sehubungan dengan Maria ini, meskipun cerita demikian sebenarnya tidak lebih daripada suatu kejadian biasa antara seorang suami dengan isterinya, atau antara seorang laki-laki dengan hamba sahaya yang sudah dihalalkan. Dan tidak perlu diributkan seperti yang dilakukan oleh kedua puteri Abu Bakr dan Umar itu, yang dari pihak mereka sendiri berusaha hendak membalas karena kecenderungan Nabi kepada Maria. Kita sudah melihat adanya semacam ketegangan dalam saat-saat tertentu antara Nabi Muhammad dengan para isterinya karena soal belanja, karena soal madu Zainab, atau karena sebab-sebab lain, yang menunjukkan bahwa mereka melihat Nabi lebih mencintai Aisyah atau lebih mencintai Maria

Begitu memuncaknya keadaan mereka, sehingga pada suatu hari mereka mengutus Zainab bt. Jahsy kepada Nabi di rumah Aisyah dan dengan terang-terangan mengatakan bahwa ia berlaku tidak adil terhadap para isterinya, dan karena cintanya kepada Aisyah ia telah merugikan yang lain. Bukankah setiap isteri mendapat bagian masing-masing sehari semalam? Kemudian juga Sauda; karena melihat Nabi menjauhinya dan tidak bermuka manis kepadanya, maka supaya Rasul merasa senang, ia telah mengorbankan waktu siang dan malamnya itu untuk Aisyah. Dalam berterusterang itu Zainab tidak hanya terbatas dengan mengatakan Nabi bersikap tidak adil di antara para isteri, bahkan juga ia telah mencerca Aisyah yang ketika itu sedang duduk-duduk, sehingga membuat Aisyah bersiap hendak membalasnya kalau tidak karena adanya isyarat dari Nabi, yang membuat dia jadi tenang kembali. Akan tetapi Zainab begitu bersikeras menyerangnya dan mencerca Aisyah melampaui batas, sehingga tak ada jalan lain buat Nabi kecuali membiarkan Aisyah membela diri. Ketika itu Aisyah membalas bicara dan membuat Zainab jadi terdiam. Dengan demikian Nabi merasa senang dan kagum sekali terhadap puteri Abu Bakr itu.

Pada waktu-waktu tertentu pertentangan isteri-isteri Nabi itu sudah begitu memuncak, sebab dia dianggap lebih mencintai yang seorang daripada yang lain, sehingga karenanya Nabi bermaksud hendak menceraikan mereka itu sebagian, kalau tidak karena mereka lalu memberikan kebebasan kepadanya mengenai siapa saja yang lebih disukainya. Setelah Maria melahirkan Ibrahim, rasa iri hati pada mereka makin menjadi-jadi, lebih-lebih pada Aisyah. Dalam menghadapi kegigihan sikap mereka yang iri hati ini Muhammad - yang sudah mengangkat derajat mereka begitu tinggi - masih tetap lemah-lembut. Muhammad tidak punya waktu yang senggang untuk melayani sikap kegigihan serupa itu dan membiarkan dirinya dipermainkan oleh sang isteri. Mereka harus mendapat pelajaran dengan sikap yang tegas dan keras. Persoalan pada isteri-isteri itu harus dapat dikembalikan ke tempat semula. Dia harus kembali dalam ketenangannya berpikir, dalam menjalankan dakwah ajarannya, seperti yang sudah ditentukan Tuhan kepadanya itu. Dapat juga pelajaran itu berupa tindakan meninggalkan mereka atau mengancam mereka dengan perceraian. Kalau mereka mau kembali sadar, baiklah; kalau tidak, berikanlah bagiannya dan ceraikan mereka dengan cara yang baik.

0 Comments:

Post a Comment



Next Prev home

SEJARAH NABI MUHAMMAD Related Posts