Sekarang datang Muhammad membawakan ayat-ayat yang begitu menakutkan, membuat jantung mereka rasakan pecah karena ngerinya, sebab Tuhan selalu mengawasi mereka. Pada Hari Kemudian mereka akan dibangkitkan kembali sebagai kejadian baru, dan bahwa yang akan menjadi penolong mereka hanyalah perbuatan mereka sendiri.
"Apabila datang suara dahsyat yang memekakkan. Tatkala seseorang lari meninggalkan saudaranya. Ibunya dan bapanya. Isterinya dan anak-anaknya. Setiap orang hari itu dengan urusannya sendiri. Wajah-wajah pada hari itu ada yang berseri. Tertawa dan bergembira. Dan ada pula wajah-wajah kelabu pada hari itu. Tertutup kegelapan. Mereka itulah orang-orang yang ingkar, orang-orang yang sudah rusak." (Qur'an, 80: 33-42)
Dan suara dahsyat itu datang.
"Apabila langit sudah bagaikan hancuran logam. Dan gunung-gunung bagaikan gumpalan bulu. Dan tak akan ada kawan akrab menanyakan kawannya. Padahal mereka menampakkan diri kepada mereka. Ingin sekali orang jahat itu akan dapat menebus diri dari siksaan hari itu dengan memberikan anak-anaknya. Isterinya, saudaranya. Dan keluarganya yang melindunginya. Dan semua yang ada di bumi; kemudian ia hendak menyelamatkan diri. Tidak sekali-kali. Itu adalah api menyala. Lapisan kepalapun tercabut. Dipanggilnya orang yang telah pergi membelakangi dan yang berpaling. Yang telah menyimpan kekayaan dan menyembunyikannya." (Qur'an, 70: 8-18)
"Hari itulah kamu dihadapkan akan diadili. Perbuatanmu takkan ada yang tersembunyi. Barangsiapa yang suratnya diberikan kepadanya dengan tangan kanan, ia akan berkata ini dia! Bacakan suratku. Sudah percaya benar aku bahwa aku akan nmenemui perhitungan. Lalu ia berada dalam kenikmatan hidup. Dalam taman yang tinggi. Buah-buahannyapun dekat sekali. Makanlah, dan minumlah sepuas hati, sesuai dengan amalmu yang kamu sediakan masa lampau. Tetapi, barangsiapa yang suratnya diberikan dengan tangan kiri, ia akan berkata: Ah, coba aku tidak diberi surat! Dan tidak lagi aku mengetahui, bagaimana perhitunganku! Ah, sekiranya aku mati saja. Kekayaanku tidak dapat menolong aku. Hancurlah sudah kekuasaanku. Sekarang bawalah dia dan belenggukan. Sesudah itu, campakkan ia kedalam api neraka. Lalu masukkan ia ke dalam mata rantai, panjangnya tujuhpuluh hasta. Tadinya ia tiada beriman kepada Tuhan yang Maha Agung. Dan tiada pula mendorong memberikan makanan kepada orang miskin. Maka, sekarang disini tak ada lagi kawan setianya. Tiada makanan baginya selain daripada kotoran. Yang hanya dimakan oleh mereka yang penuh dosa."(Qur'an, 69: 18-37)
Sudahkah orang membacanya? Sudahkah mendengarnya? Tidakkah merasa ngeri, merasa takut? Ini hanya sebahagian kecil dari yang pernah diperingatkan Muhammad kepada masyarakatnya. Kita membacanya sekarang, dan sebelum itupun sudah pula membacanya, mendengarnya, berulang kali. Segala gambaran neraka yang terdapat dalam Qur'an hidup lagi dalam pikiran kita, ketika kita membacanya kembali.
"... Setiap kulit-kulit mereka itu sudah matang, Kami ganti dengan kulit lain lagi, supaya siksaan itu mereka rasakan." (Qur'an, 4: 56)
Dengan merasakan adanya kengerian itu, orang akan mudah memperkirakan betapa sebenarnya perasaan Quraisy dan terutama orang-orang kayanya, tatkala mendengarkan kata-kata semacam itu, sebab sebelum mereka mendapat peringatan tentang siksa, mereka sudah merasa dirinya jauh dan aman dari itu, dalam lindungan dewa-dewa dan berhala-berhala mereka.
Juga sesudah itu orang akan mudah pula memperkirakan betapa meluapnya semangat mereka mendustakan Muhammad, mengadakan tantangan dan penghinaan. Mereka memang tidak pernah mengenal arti Hari Kebangkitan, juga mereka tidak pernah mengakui apa yang didengarnya itu. Tidak ada diantara mereka itu yang membayangkan, bahwa setelah orang meninggalkan hidup ini, ia akan mendapat balasan atas segala perbuatan selama hidupnya. Tetapi apa yang mereka takutkan dalam hidup mereka pada hari kemudian itu, ialah mereka takut akan penyakit, takut akan mengalami bencana pada harta benda, pada turunan, kedudukan dan kekuasaannya. Hidup sekarang ini bagi mereka ialah seluruh tujuan hidupnya. Seluruh perhatian mereka hanya tertuju untuk memupuk segala macam kesenangan dan menolak segala macam yang mereka takuti. Bagi mereka hari kemudian ialah masalah gaib yang masih tertutup. Dalam hati mereka sudah merasa bahwa apabila perbuatan mereka itu jahat dunia gaib itu boleh jadi akan mendatangkan bencana kepada mereka. Lalu mereka menantikan adanya alamat baik atau alamat buruk. Segera mereka mengadukan nasib itu dengan permainan anak panah, dengan mengocok batu-batu kerikil dan menolak burung3 serta menyembelih kurban. Semua itu merupakan penangkal terhadap segala yang mereka takuti dalam hidup mereka di kemudian hari.
Sebaliknya, segala yang mengenai adanya balasan sesudah mati, mengenai hari kebangkitan tatkala sangkakala ditiup, mengenai surga yang disediakan untuk mereka yang takwa, neraka untuk mereka yang aniaya, mengenai semua itu memang tak pernah terlintas dalam pikiran mereka.
Pada dasarnya mereka sudah pernah mendengar semua itu dalam agama Yahudi dan Nasrani. Tetapi mereka belum pernah mendengar dengan gambaran yang begitu kuat dan menakutkan seperti yang mereka dengar melalui wahyu kepada Muhammad itu, dan yang memberi peringatan kepada mereka - akan siksa abadi dalam perut neraka, yang sangat menggamakkan hati karena rasa takut hanya dengan mendengar gambarannya saja - kalau mereka masih juga seperti keadaan itu, bersukaria dan berlumba-lumba memperbanyak harta dengan melakukan penindasan terhadap si lemah, makan harta anak piatu, membiarkan kemiskinan dan melakukan riba secara berlebih-lebihan. Apalagi kalau orang dapat melihat dengan hati nuraninya jalan yang ditempuh manusia dengan langkah yang begitu sempit selama hidupnya menuju mati, sesudah kebangkitan kembali kelak dengan segala suka dan dukanya.
Sebaliknya surga yang dijanjikan Tuhan yang luasnya seperti langit dan bumi, di situ takkan terdengar cakap kosong, juga tak ada perbuatan dosa. Yang ada hanyalah ucapan "selamat." Segala yang menyenangkan hati, menyedapkan mata itulah yang ada. Tetapi Quraisy menyangsikan semua itu. Dan yang menambah lagi kesangsian mereka karena mereka menginginkan segala yang segera. Mereka ingin melihat kenikmatan itu nyata dalam kehidupan dunia ini. Mereka tidak betah menunggu sampai hari pembalasan, sebab mereka memang tidak percaya pada hari pembalasan itu.
"Apabila datang suara dahsyat yang memekakkan. Tatkala seseorang lari meninggalkan saudaranya. Ibunya dan bapanya. Isterinya dan anak-anaknya. Setiap orang hari itu dengan urusannya sendiri. Wajah-wajah pada hari itu ada yang berseri. Tertawa dan bergembira. Dan ada pula wajah-wajah kelabu pada hari itu. Tertutup kegelapan. Mereka itulah orang-orang yang ingkar, orang-orang yang sudah rusak." (Qur'an, 80: 33-42)
Dan suara dahsyat itu datang.
"Apabila langit sudah bagaikan hancuran logam. Dan gunung-gunung bagaikan gumpalan bulu. Dan tak akan ada kawan akrab menanyakan kawannya. Padahal mereka menampakkan diri kepada mereka. Ingin sekali orang jahat itu akan dapat menebus diri dari siksaan hari itu dengan memberikan anak-anaknya. Isterinya, saudaranya. Dan keluarganya yang melindunginya. Dan semua yang ada di bumi; kemudian ia hendak menyelamatkan diri. Tidak sekali-kali. Itu adalah api menyala. Lapisan kepalapun tercabut. Dipanggilnya orang yang telah pergi membelakangi dan yang berpaling. Yang telah menyimpan kekayaan dan menyembunyikannya." (Qur'an, 70: 8-18)
"Hari itulah kamu dihadapkan akan diadili. Perbuatanmu takkan ada yang tersembunyi. Barangsiapa yang suratnya diberikan kepadanya dengan tangan kanan, ia akan berkata ini dia! Bacakan suratku. Sudah percaya benar aku bahwa aku akan nmenemui perhitungan. Lalu ia berada dalam kenikmatan hidup. Dalam taman yang tinggi. Buah-buahannyapun dekat sekali. Makanlah, dan minumlah sepuas hati, sesuai dengan amalmu yang kamu sediakan masa lampau. Tetapi, barangsiapa yang suratnya diberikan dengan tangan kiri, ia akan berkata: Ah, coba aku tidak diberi surat! Dan tidak lagi aku mengetahui, bagaimana perhitunganku! Ah, sekiranya aku mati saja. Kekayaanku tidak dapat menolong aku. Hancurlah sudah kekuasaanku. Sekarang bawalah dia dan belenggukan. Sesudah itu, campakkan ia kedalam api neraka. Lalu masukkan ia ke dalam mata rantai, panjangnya tujuhpuluh hasta. Tadinya ia tiada beriman kepada Tuhan yang Maha Agung. Dan tiada pula mendorong memberikan makanan kepada orang miskin. Maka, sekarang disini tak ada lagi kawan setianya. Tiada makanan baginya selain daripada kotoran. Yang hanya dimakan oleh mereka yang penuh dosa."(Qur'an, 69: 18-37)
Sudahkah orang membacanya? Sudahkah mendengarnya? Tidakkah merasa ngeri, merasa takut? Ini hanya sebahagian kecil dari yang pernah diperingatkan Muhammad kepada masyarakatnya. Kita membacanya sekarang, dan sebelum itupun sudah pula membacanya, mendengarnya, berulang kali. Segala gambaran neraka yang terdapat dalam Qur'an hidup lagi dalam pikiran kita, ketika kita membacanya kembali.
"... Setiap kulit-kulit mereka itu sudah matang, Kami ganti dengan kulit lain lagi, supaya siksaan itu mereka rasakan." (Qur'an, 4: 56)
Dengan merasakan adanya kengerian itu, orang akan mudah memperkirakan betapa sebenarnya perasaan Quraisy dan terutama orang-orang kayanya, tatkala mendengarkan kata-kata semacam itu, sebab sebelum mereka mendapat peringatan tentang siksa, mereka sudah merasa dirinya jauh dan aman dari itu, dalam lindungan dewa-dewa dan berhala-berhala mereka.
Juga sesudah itu orang akan mudah pula memperkirakan betapa meluapnya semangat mereka mendustakan Muhammad, mengadakan tantangan dan penghinaan. Mereka memang tidak pernah mengenal arti Hari Kebangkitan, juga mereka tidak pernah mengakui apa yang didengarnya itu. Tidak ada diantara mereka itu yang membayangkan, bahwa setelah orang meninggalkan hidup ini, ia akan mendapat balasan atas segala perbuatan selama hidupnya. Tetapi apa yang mereka takutkan dalam hidup mereka pada hari kemudian itu, ialah mereka takut akan penyakit, takut akan mengalami bencana pada harta benda, pada turunan, kedudukan dan kekuasaannya. Hidup sekarang ini bagi mereka ialah seluruh tujuan hidupnya. Seluruh perhatian mereka hanya tertuju untuk memupuk segala macam kesenangan dan menolak segala macam yang mereka takuti. Bagi mereka hari kemudian ialah masalah gaib yang masih tertutup. Dalam hati mereka sudah merasa bahwa apabila perbuatan mereka itu jahat dunia gaib itu boleh jadi akan mendatangkan bencana kepada mereka. Lalu mereka menantikan adanya alamat baik atau alamat buruk. Segera mereka mengadukan nasib itu dengan permainan anak panah, dengan mengocok batu-batu kerikil dan menolak burung3 serta menyembelih kurban. Semua itu merupakan penangkal terhadap segala yang mereka takuti dalam hidup mereka di kemudian hari.
Sebaliknya, segala yang mengenai adanya balasan sesudah mati, mengenai hari kebangkitan tatkala sangkakala ditiup, mengenai surga yang disediakan untuk mereka yang takwa, neraka untuk mereka yang aniaya, mengenai semua itu memang tak pernah terlintas dalam pikiran mereka.
Pada dasarnya mereka sudah pernah mendengar semua itu dalam agama Yahudi dan Nasrani. Tetapi mereka belum pernah mendengar dengan gambaran yang begitu kuat dan menakutkan seperti yang mereka dengar melalui wahyu kepada Muhammad itu, dan yang memberi peringatan kepada mereka - akan siksa abadi dalam perut neraka, yang sangat menggamakkan hati karena rasa takut hanya dengan mendengar gambarannya saja - kalau mereka masih juga seperti keadaan itu, bersukaria dan berlumba-lumba memperbanyak harta dengan melakukan penindasan terhadap si lemah, makan harta anak piatu, membiarkan kemiskinan dan melakukan riba secara berlebih-lebihan. Apalagi kalau orang dapat melihat dengan hati nuraninya jalan yang ditempuh manusia dengan langkah yang begitu sempit selama hidupnya menuju mati, sesudah kebangkitan kembali kelak dengan segala suka dan dukanya.
Sebaliknya surga yang dijanjikan Tuhan yang luasnya seperti langit dan bumi, di situ takkan terdengar cakap kosong, juga tak ada perbuatan dosa. Yang ada hanyalah ucapan "selamat." Segala yang menyenangkan hati, menyedapkan mata itulah yang ada. Tetapi Quraisy menyangsikan semua itu. Dan yang menambah lagi kesangsian mereka karena mereka menginginkan segala yang segera. Mereka ingin melihat kenikmatan itu nyata dalam kehidupan dunia ini. Mereka tidak betah menunggu sampai hari pembalasan, sebab mereka memang tidak percaya pada hari pembalasan itu.